Minggu, 21 April 2013

KEHEBATAN CINTA SANG SUFI


Jika cinta ada dihati yang satu, maka cinta juga akan ada dihati yang lain
Karena tangan yang satu tak akan mampu bertepuk tanpa tangan yang lain

Syair-syair nan indah yang lahir dari buah pemikiran seorang Sufi. Bahkan keindahan syair yang keluar dari curah perasaan dan pikirannya tak lekang oleh zaman yang semakin menjauhi masa dimana ia hidup. Kekuatan fikir dan nalar yang seakan menjadi candu baginya untuk terus menuliskan keindahan kata bermakna yang cukup diminati manusia diberbagai belahan dunia. Dialah Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri atau sering pula disebut dengan nama Jalaludin Rumi, adalah seorang penyair Sufi yang lahir di Balkh(sekarang Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau tanggal 30 September 1207 Masehi. Ayahnya masih keturunan Abu Bakar, bernama Bahauddin Walad. Sedang ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm.
Rumi memang bukan sekedar penyair, ia juga merupakan  guru nomor satu tarekat Maulawiyah, sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Diakui bahwa puisi Rumi memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan para Sufi penyair lainnya. Melalui puisi-puisinya Rumi menyampaikan bahwa pemahaman atas dunia hanya mungkin didapat lewat cinta, bukan semata-mata lewat kerja fisik. Dalam puisinya Rumi juga menyampaikan bahwa Tuhan, sebagai satu-satunya tujuan, tidak ada yang menyamai. Ciri khas lain yang membedakan puisi Rumi dengan karya Sufi penyair lain adalah seringnya ia memulai puisinya dengan menggunakan kisah-kisah. Tapi hal ini bukan dimaksud ia ingin menulis puisi naratif. Kisah-kisah ini digunakan sebagai alat pernyataan pikiran dan ide.
Kehebatan dan kecemerlangan pemikiran Rumi bukan berawal tanpa sebab, karena kata-kata yang berbuah dari ucapannya merupakan ungkapan perasaan mandalam tentang suatu hal yang pernah ia namakan sebagai kehilangan terbesar dalam sejarah hidupnya, Rumi kecil pernah diramal oleh Fariduddin Attar, seorang tokoh Sufi juga, ia pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak bakal menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat. Ramalan Fariduddin itu tidak meleset. Semakin beranjak dewasa Rumi menjadi pemuda yang tangguh dan mempunyai pemikiran yang luar biasa cemerlang , ia juga menjadi pecandu ilmu dengan cukup seringnya ia berpindah tempat dan beguru pada orang-orang besar pada masa itu. Hingga setelah salah satu gurunya Burhanuddin wafat ia pun menggantikannya sebagai guru di Konya, dengan pengetahuan agamanya yang luas disamping menjadi seorang guru ia juga menjadi Da’i dan ahli hukum islam. Pada saat itu kepenyairan Rumi belum banyak terlihat, ia masih senang berkutat dalam dunia ilmu dan pengetahuan agama. Namun ketika usianya menginjak 48 Tahun kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia dipertemukandengan seorang Sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi Tabriz.
Kisah ini berawal ketika suatu saat seperti biasanya Rumi mengajar dihadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba-tiba seorang lelaki asing yakni Syamsi Tabriz ikut bertanya “apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?” mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasaran namun ia tak mampu menjawab. Berikutnya Rumi berkenalan dengan Tabriz yang ternyata seorang Sufi, kemudian ia berbincang-bincang dan berdebat banyak hal dengan Tabriz. Bahkan mereka betah tingga didalam kamar hingga berari-hari.
Sultan Salad, putra Rumi mulai mengomentari perilaku sang ayah, ia pun berkata “sesungguhnya seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil”. Namun pada kenyataanya dalam diri Tabriz, Rumi sang guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.
Rumi benar-benar tunduk kepada guru barunya itu, dimatanya Tabriz benar-benar sempurna. Namun celakanya Rumi kemudian melalaikan kewajibannya menjadi guru yang harus senantiasa tanpa lelah memberikan ilmu kepada para muridnya, akibatnya tidak sedikit murid yang memprotes tindakan Rumi tersebut, mereka menuduh Tabriz lah penyebabnya, karena takut terjadi fitnah dan demi menjaga keselamatan dirinya Tabriz lantas diam-diam meninggalkan Rumi.
Bagaikan remaja yang ditinggal sang kekasih, begitu dalamnya cinta Rumi kepada sang guru ia dirundumg duka teramat dalam atas kepergiannya, Rumi benar-benar payah, ia hanya mengurung diri di dalam kamar dan juga tidak bersedia mengajar. Dari belahan bumi yang lain Tabriz mengetahui hal ini lantas kemudian mengirimkan surat kepada Rumi dan menegurnya atas tindakan tersebut. Berkat surat teguran itu Rumi serasa menemukan gurunya kembali dan kemudian bangkitlah kembali gairahnya untuk menjadi pendakwah yang ulet yang kemudian ia lanjutkan dengan kembali mengajar.
Kecintaanya pada sang guru masih menggebu-gebu. Akhirnya ia mengutus putranya, Sultan Salad, untuk mencari keberadaan Tabriz di Damaskus, Rumi ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf atas perlakuan murid-muridnya dan bersedia menjamin keselamatan Gurunya tersebut bila bersedia kembali ke Konya, tempat Rumi hidup.
Dan akhirnya Tabriz bersedia kembali ke Konya. Dan mulailah mereka berasyik-ayik kembali bertukar pikiran dan berdebat tentang banyak hal, lambat laun rupanya para murid Rumi kembali merasa diabaikan oleh sang guru besar dan mereka kembali menampakan perasaan tak senang pada Tabriz dan lagi-lagi Tabriz memilih meninggalkan Rumi secara diam-diam
Untuk yang kedua kalinya Rumi mencoba mencari Tabriz ke Damaskus, namun kali ini tiada hasil yang dapatkan. Rumi telah menjadi Sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz kesedihannya berpisah dan keinduannya untuk berjumpa kembali dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Dan akhirnya untuk mengenang dan menyanjung gurunya itu lewat tulisan  syair-syair yang indah dan mendalam. Rumi kemudian mendapat sahabat baru dan sumber inspirasi baru. Syech Hisamudin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu ia berhasil selama 15 tahun terakhir pada masa hidupnya menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi-i. buku ini terdiri dari 6 jilid dan berisi 20.700 bait syair, dalam karyanya ini terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam yang disampaikan dalam bentuk apologi, fable, legenda, anekdot, dan lain-lain. 
Demikianlah kecintaan mendalam pada sang guru yang membawa Rumi pada nikmatnya kerinduan dengan bermain emosi dan kemudian memampukannya untuk menghasilkan sebuah karya yang luar biasa dalam lembah sejarah manusia.
Elly Prastika
Mahasiswa Jur. Manajemen Dakwah/III

1 komentar: